KOMPAS.com - Ditetapkannya batik sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO, dan peringatannya setiap tanggal 2 Oktober, seharusnya membuat kita semakin memahami apa yang disebut sebagai batik. Yang dijadikan warisan budaya tersebut adalah proses membatiknya, bukan kain dengan motif batik seperti yang kerap dipersepsikan orang kebanyakan. Proses membatik akan menghasilkan batik dengan jenis tulis, yang harganya berkali-kali lipat dibandingkan dengan batik yang melalui proses cap atau printing. Mengapa pula harga selembar kain batik tulis bisa mencapai jutaan hingga puluhan juta rupiah?
Bayangkan saja, sehelai kain ukuran 2,5 m yang menampilkan suatu karya batik, ternyata membutuhkan waktu pembuatan hingga tiga bulan. Proses pembuatan yang begitu lama jelas menuntut kesabaran, ketelitian, dan cita rasa yang tinggi. Bagaimanapun, nilai batik akan meningkat bila pembatik mampu menghasilkan batik dengan tingkat kesulitan yang tinggi.
"Nilai jualnya tergantung dari keunikan kainnya, batikan, dan warnanya. Kalau desainnya langka, dan tak bisa ditiru, itu akan menentukan harganya," jelas Nur Cahyo, pemilik Rumah Batik Cahyo, saat menemani wartawan menyaksikan berbagai tahapan pembuatan batik di tempat workshop-nya di Desa Setono, Pekalongan, Kamis (16/12/2010).
Proses pembuatan batik juga melibatkan banyak orang dengan keahliannya masing-masing. Dari tahap awal, yaitu pembuat pola yang membuat desain batik (molani), pembatik -yang memindahkan pola ke atas kain, dan melukisnya dengan menggunakan canting, lalu menutup bagian-bagian yang tidak berwarna dengan lilin (malam), pewarnaan, nglorod (proses membilas atau meluruhkan lapisan malam), hingga mencuci dan
kemudian menjemurnya hingga siap dipakai.
Seorang yang menguasai pembuatan batik tentu mampu melakukan seluruh tahapan ini. Termasuk, dos & don'ts dalam melakukan setiap tahapan tersebut.
Cahyo, misalnya, sudah 15 tahun ia mencurahkan seluruh hidupnya untuk melanjutkan usaha batik milik ayahnya. Cahyo mampu mengolah desain batik, menciptakan warna yang dihasilkan dari bahan-bahan alami seperti kayu tingi, secang, mahoni, jambal, tegeran, atau jelawe. Ia lah yang bertindak dalam membuat komposisi yang pas antara kayu satu dengan kayu lainnya, hingga tercipta suatu warna yang diinginkannya.
Cahyo adalah salah satu contoh pembatik yang mengutamakan kualitas, mengejar kesempurnaan hingga semaksimal mungkin. "Saya pernah ditawari untuk menitipkan batik buatan saya (Cahyo menyebutkan outlet besar produk-produk budaya di sebuah pusat perbelanjaan terkemuka di Jakarta, RED), tapi saya tolak. Karena, saya ini dasarnya pembatik," katanya.
Cahyo mengejar kepuasan batin dengan menghasilkan batik yang berkualitas tinggi. Selembar kain batik karyanya yang berukuran 2,5 m dari bahan katun bisa dihargai hingga Rp 3 juta. Sedangkan batik dari bahan sutera nilainya bisa mencapai Rp 15 juta.
Cahyo tidak memungkiri, ia tetap membutuhkan keuntungan dalam waktu cepat untuk memberi nafkah bagi 50-an pembatik yang menjadi karyawannya, sekaligus untuk biaya operasional pembuatan batiknya. Oleh karena itu, Cahyo juga memproduksi batik sebagai second line dengan merek Norma, yang lebih cepat pengerjaannya.
"Batik yang ini harganya lebih terjangkau, menggunakan bahan pewarna kimia. Tidak semuanya batik cap, ada juga yang tulis," paparnya. Batik tulis yang harganya lebih terjangkau ini umumnya menggunakan katun.
Banyak hal yang bisa menghambat pengerjaan sehelai batik, dan mengharuskan pembatik mengulangi pembuatannya dari awal. Misalnya, pelukisan dengan lilin yang blobor akibat cairan lilin yang tidak pas kekentalannya. Atau, kegagalan saat proses pewarnaan. Kalau sudah begini, pembatik tentu mengalami kerugian seperti hilangnya lembaran kain berbahan sutera yang nilainya mencapai jutaan.
"Itu sering terjadi, dan mau tidak mau kita harus menerimanya. Anda harus membayar kegagalan itu dengan menikmati seluruh prosesnya. Enjoy the process, enjoy the moment. Kita tidak akan menjadi pembatik yang andal jika tidak melalui proses kegagalan itu," tutur desainer Edward Hutabarat, dalam kesempatan yang sama.
Di luar urusan teknis, masih ada kendala sosial yang menghambat proses pembuatan batik. Banyak pembatiknya yang menikah, mempunyai anak, dan memutuskan berhenti bekerja. "Padahal regenerasi kan harus terus berlangsung. Akhirnya saya harus mencari pembatik lagi, entah dari keluarga atau teman-temannya," kata Cahyo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar